Menu Tutup

Dulu dan Kini: Evolusi Sistem Ladang dan Dampaknya pada Lingkungan

Sistem ladang berpindah, atau swidden agriculture, telah menjadi praktik pertanian kuno yang dilakukan oleh berbagai masyarakat adat di seluruh dunia selama ribuan tahun. Namun, seiring Evolusi Sistem Ladang ini dari praktik subsisten murni menjadi terkadang komersial, dampaknya terhadap lingkungan juga mengalami perubahan signifikan. Artikel ini akan membahas Evolusi Sistem Ladang dari masa lalu hingga kini, serta bagaimana dampaknya terhadap lingkungan bergeser seiring waktu, melihat bagaimana Evolusi Sistem Ladang ini beradaptasi atau berkonflik dengan kondisi modern.


Sistem Ladang Tradisional: Harmoni dengan Alam

Pada mulanya, sistem ladang berpindah dipraktikkan secara berkelanjutan. Komunitas adat membersihkan sebagian kecil hutan, biasanya dengan metode tebang bakar yang terkontrol, menanaminya selama beberapa musim, kemudian meninggalkannya (masa bera) agar hutan dapat pulih kembali. Siklus ini bisa memakan waktu puluhan tahun, bahkan hingga 50 tahun atau lebih, memungkinkan tanah mendapatkan kembali kesuburannya secara alami melalui regenerasi hutan. Dalam sistem tradisional ini, ukuran lahan yang dibuka relatif kecil dan populasi penduduk rendah, sehingga tekanan terhadap hutan tidak terlalu besar. Petani memiliki pengetahuan mendalam tentang ekologi lokal dan praktik ini sering terintegrasi dengan ritual dan hukum adat untuk memastikan keberlanjutan. Sebuah penelitian etnografi oleh Institut Antropologi Nasional pada 10 Mei 2025 di Kalimantan menunjukkan bahwa masyarakat Dayak di masa lalu memiliki siklus bera lebih dari 30 tahun, yang sangat efektif menjaga kesuburan tanah dan keanekaragaman hayati.


Evolusi dan Perubahan Dampak Lingkungan

Seiring berjalannya waktu, terutama dengan meningkatnya populasi dan tekanan ekonomi, Evolusi Sistem Ladang mengalami perubahan yang signifikan, seringkali mengarah pada dampak lingkungan yang lebih merusak. Masa bera menjadi semakin singkat, terkadang hanya 3-5 tahun, karena kebutuhan lahan yang mendesak. Pembakaran hutan seringkali menjadi tidak terkontrol, menyebabkan kebakaran hutan berskala besar dan kabut asap. Praktik ini juga mulai beralih dari produksi subsisten murni menjadi semi-komersial, mendorong pembukaan lahan yang lebih luas dan lebih sering untuk menanam komoditas tertentu. Akibatnya, hutan tidak memiliki cukup waktu untuk beregenerasi, menyebabkan degradasi lahan, erosi tanah, hilangnya keanekaragaman hayati, dan peningkatan emisi karbon. Sebuah laporan dari Kementerian Kehutanan pada 1 Juli 2025 menyebutkan bahwa sekitar 80% kasus deforestasi di beberapa wilayah Sumatera dan Kalimantan pada dekade terakhir terkait dengan praktik pembukaan lahan yang tidak berkelanjutan, termasuk modifikasi dari sistem ladang berpindah.


Mencari Keseimbangan di Era Modern

Meskipun sistem ladang yang tidak terkontrol memiliki dampak negatif, upaya untuk mencari keseimbangan masih dilakukan. Beberapa komunitas dan peneliti berupaya merevitalisasi praktik sistem ladang yang lebih berkelanjutan, seringkali dengan menggabungkannya dengan prinsip agroforestri atau rotasi tanaman yang lebih canggih. Tujuannya adalah untuk mempertahankan manfaat ekologis dan sosial dari sistem ladang tradisional sambil memitigasi dampak negatif modernnya. Pendidikan dan pemberdayaan masyarakat adat menjadi kunci untuk memastikan Evolusi Sistem Ladang yang lebih bertanggung jawab.

Dengan demikian, Evolusi Sistem Ladang memberikan pelajaran penting tentang hubungan manusia dengan alam. Dari praktik yang harmonis di masa lalu, perubahan kondisi global telah mengubah dampaknya. Tantangan di masa kini adalah bagaimana mengembalikan prinsip keberlanjutan dalam sistem pertanian ini agar dapat terus berkontribusi pada ketahanan pangan tanpa merusak lingkungan.