Di tengah padatnya populasi perkotaan dan keterbatasan lahan, konsep bertani di lahan sempit atau yang dikenal dengan solusi urban farming kian menjadi sorotan utama. Urban farming bukan hanya sekadar hobi menanam, melainkan sebuah gerakan revolusioner yang menawarkan solusi konkret untuk isu ketahanan pangan kota. Ketergantungan terhadap pasokan makanan dari daerah pedesaan seringkali menimbulkan kerentanan, terutama saat terjadi kendala logistik seperti bencana alam atau lonjakan harga. Dengan memanfaatkan lahan-lahan terbatas, seperti pekarangan rumah, atap bangunan, atau bahkan dinding vertikal, masyarakat kota dapat berkontribusi langsung pada ketersediaan pangan yang lebih stabil.
Solusi urban farming tidak hanya terbatas pada skala individu. Banyak komunitas di berbagai kota telah membuktikan keberhasilan model ini. Sebagai contoh, di salah satu sudut kota Jakarta Utara, sebuah kelompok tani kota berhasil mengubah lahan kosong seluas 200 meter persegi menjadi kebun sayur produktif. Berdasarkan laporan dari Dinas Ketahanan Pangan setempat, kebun ini mampu menghasilkan sekitar 50 kg sayuran per minggu, termasuk kangkung, bayam, dan sawi, yang sebagian besar disalurkan kembali kepada anggota komunitas dan warga sekitar dengan harga terjangkau. Proyek ini tidak hanya mengurangi biaya belanja, tetapi juga memastikan bahwa sayuran yang dikonsumsi adalah produk segar tanpa pestisida berbahaya. Inisiatif serupa juga terlihat di Surabaya, di mana program kebun atap di gedung-gedung perkantoran berhasil menekan jejak karbon sekaligus menyediakan sumber pangan lokal.
Penerapan solusi urban farming juga membawa dampak sosial yang signifikan. Kegiatan ini seringkali menjadi ajang kolaborasi antar warga, memperkuat rasa kebersamaan, dan membangun jejaring sosial yang lebih solid. Pada 14 Juni 2025, misalnya, sebuah acara pelatihan hidroponik diadakan di sebuah Rukun Warga (RW) di Kelurahan Pulo Gadung, Jakarta Timur, yang dihadiri oleh 30 peserta dari berbagai latar belakang usia. Pelatihan ini tidak hanya mengajarkan teknik menanam, tetapi juga membuka ruang diskusi tentang pentingnya pangan mandiri. Antusiasme peserta menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya ketahanan pangan lokal semakin meningkat di kalangan masyarakat kota.
Selain itu, urban farming juga berperan penting dalam aspek lingkungan. Mengurangi jarak tempuh makanan dari ladang ke meja makan secara signifikan mengurangi emisi karbon dari transportasi. Penanaman di area urban juga membantu meningkatkan kualitas udara dan menyediakan area hijau yang dapat menyejukkan lingkungan kota yang seringkali panas. Laporan dari sebuah lembaga penelitian lingkungan menyebutkan bahwa setiap meter persegi lahan hijau di kota dapat menurunkan suhu lokal hingga 1-2 derajat Celsius. Urban farming, dengan demikian, bukan hanya tentang makanan, tetapi juga tentang menciptakan kota yang lebih sehat dan berkelanjutan. Dengan berbagai manfaat ini, tidak heran jika urban farming semakin diakui sebagai strategi penting untuk menghadapi tantangan pangan di masa depan.